Selasa, 30 September 2008

Minggu, 21 September 2008

Hakikat (bagian 1)

aku adalah tangis bayi yang terbuang
aku adalah kesendirian yang memenjarakan
bagi sebagian orang
aku adalah gurauan yang pantas dienyahkan
aku hilang bersama jalinan waktu
lalu terlupakan
aku ada di ujung pelor-pelor ganas yang bermuka dingin
aku adalah korban keserakahan para koruptor
aku adalah secarik surat cinta yang terobek dan terbakar
aku adalah hamba yang terabaikan

Rabu, 25 Juni 2008

memeluk matamu

kupeluk matamu
karena aku ingin kau melihat
bagaimana jalan hidup ini
lalu bersimpuhlah di bidang jiwaku
setelah kau mengerti dan kau pun terlelah

yakinlah,
ketika semua berjalan menurut kehadiranmu
maka aku adalah cinta yang bernafas lewat aortamu
karena terbang bersama rindu-rindu
dan memeluk matamu..

Kamis, 05 Juni 2008

FUI Tuding AS Otaki Insiden Monas

Oleh : Redaksi 06 Jun 2008 - 5:00 am
Ahmadiyah Pangkal Masalah Insiden MonasJakarta - Forum Umat Islam (FUI) mencurigai insiden monas didalangi pihak asing. Bahkan AKK-BB dituding telah menerima duit US$ 26 juta dolar sejak 1995 hingga 1997.Kecurigaan FUI ini didasari kedatangan Kuasa Usaha Kedubes AS untuk Indonesia, John Heffrn menjenguk anggota AKK-BB yang menjadi korban insiden Monas 1 Juni. "John Heffern datang membesuk para korban dari AKK-BB. Ini menimbulkan tanda tanya publik. Ada hubungan apa antara orang-orang yg dijenguk tadi dengan kedubes AS," ujar Ketua Gerakan Persaudaran Muslim Indonesia (GPMI) Ahmad Sumargono. Hal itu disampaikan dia dalam jumpa pers yang digelar FUI di Hotel Sofyan Cikini, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat. Sekadar diketahui, GPMI adalah salah satu organisasi yang tergabung dalam FUI.Selain itu, Sumargono mengungkapkan, AS telah menerbitkan rilis yang meminta pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan insiden Monas. Penerbitan rilis ini dinilai sebagai bentuk campur tangan AS.Sumargono juga membeberkan, Adnan Buyung Nasution, yang juga salah satu tokoh AKK-BB, telah menerima duit US$ 26 juta dari AS sejak tahun 1995 hingga 1997. "Melalui YLBHI, Adnan Buyung telah menerima dana dari USAID. Dana ini yang menyebabkan terjadinya gelombang reformasi yang membuat Indonesia amburadul di bawah eksploitasi kaum kapitalis liberal," tuturnya.Data ini didapat Sumargono berdasarkan tulisan di New York Time. Sumargono mengatakan tulisan New York Time itu diperkuat dari Maruli Tobing dalam harian Kompas, 9 Februari 2001 yang menyebut 'Lewat bantuan itu pula tidak adapula salahnya mencurigai CIA ikut dalam peristiwa yang terjadi 13 hingga 15 Mei 1998 di Jakarta'.Rencananya, FUI akan menyerahkan bukti-bukti keterlibatan pihak asing ini ke Mendagri sebagai bahan pertimbangan. "Syarat sebuah ormas dibubarkan salah satunya adalah mendapat bantuan dari asing. Bukti ini akan kami serahkan ke Mendagri sebagai pertimbangan saja," katanya. (Detik)
Pernyataan FUI : Ahmadiyah Pangkal Masalah Insiden MonasJakarta, 6 Juni 2008 00:26 : Forum Umat Islam (FUI) terus mendesak agar Ahmadiyah segera dibubarkan dan dilarang di Indonesia karena menurut pengurus FUI, aliran tersebut merupakan pangkal masalah dari terjadinya insiden Monas, Minggu (1/6)."Kami menuntut kepada pemerintah untuk segera membubarkan Ahmadiyah sehingga terwujud ketentraman di masyarakat, sebab keterlambatan pemerintah dalam membubarkan Ahmadiyah menjadi pangkal masalah," kata penasehat FUI Ahmad Sumargono kepada wartawan di Jakarta, Kamis (5/6).Ahmad menyesalkan, karena berbagai pihak yang menjadi pelaku inti dalam pengeluaran Surat Keputusan Bersama (SKB) Pembubaran Ahmadiyah kerap tidak bisa memberikan jawaban pasti kapan SKB itu akan benar-benar dikeluarkan.Selain itu, Ketua Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia itu juga mengindikasikan, terdapat bentuk intervensi asing dalam Insiden Monas antara lain dari Amerika Serikat (AS). "Hal ini diindikasikan oleh kuasa usaha AS John A Hefern yang datang membesuk para korban dari kalangan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan)," katanya.Ahmad juga mempertanyakan sikap Kedutaan Besar AS yang menggelar jumpa pers mengecam insiden tersebut dan mendesak pemerintah Indonesia untuk segera bertindak terkait kasus itu.Ahmad mengutarakan keinginannya agar pemerintah memeriksa berbagai sokongan dana asing yang diduga diperoleh sejumlah tokoh dan berbagai lembaga yang mendukung AKKBB.Berkaitan dengan Ahmadiyah, di tempat terpisah Direktur Eksekutif Center for Information and Development Studies Syahganda Nainggolan mengatakan, pemerintah agar mencermati adanya akar persoalan Ahmadiyah yang tidak tegas disikapi penuntasannya. "Pemerintah harusnya tidak perlu menunda-nunda terlalu lama dalam menyatakan pembubaran Ahmadiyah," katanya. [EL, Ant]

salafisme baru?

Salafiyah Tidak seperti yang saya duga sebelumnya, mungkin juga anda, almarhum Syeikh Ghazali, DR. Yusuf Qaradhawi, DR. Ramdhan al-Bouti, DR. Aly Gum'ah –Mufti Mesir, dan sejumlah tokoh Islam lainnya yang selama ini dikenal moderat, ternyata juga tak luput dari hujatan, dibid'ahkan, bahkan kadang dianggap berpikiran sesat, oleh sekelompok orang yang mengaku salafi. Syeikh Ghazali menamakan kelompok yang kerap mengaku paling salafi ini sebagai Salafi-Baru.
Tak cukup individu saja yang dikecam, organisasi-organisasi sosial-keagamaan yang tidak sejalan dengan pemikirannya, seperti Jama'ah Tabligh, Ikhwan Muslimin, dll, pun juga kena semprot. Seringkali yang terakhir ini diplesetkan menjadi Ikhwanul Muflisin. Selanjutnya, Anda bisa mereka-reka sendiri bagaimana dengan nasib pemikir-pemikir Islam yang dianggap, katakan saja, "liar”?
Fenomena ini, dalam konteks kepentingan Islam global, tentu sangat tidak menarik, bahkan mengkhawatirkan! Karena mengganggu soliditas dan persaudaraan umat. Juga mengganggu konsentrasi primer yang lebih mendesak untuk digarap umat Islam dewasa ini, yaitu pendangkalan pemahaman hakikat Islam, mengentas kemiskinan, mengejar ketinggalan dalam bidang pendidikan, hi-tec, wawasan peran global dan hal krusial lainnya.
Terma Salaf
Secara etimologis, kata salaf sepadan dengan kata qablu. Artinya setiap sesuatu yang sebelum kita. Lawan kata salaf adalah khalaf (generasi setelah kita). Kata ini kemudian menjadi sebuah terminologi untuk menunjuk pada generasi keemasan Islam, tiga generasi pertama Islam: para Sahabat, Tabi'in dan Tabi' Tabi'in atau Salaf Shalih. Istilah ini merujuk pada hadis Nabi: Khairul quruni qarni..... (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dalam wacana Islam kontemporer, kata salaf kemudian diimbuhi ya nisbat pada hurup akhirnya: menjadi salafi, kadang juga salafiyah – dengan penambahan ta, setelah ya, untuk menunjuk pada kelompok Islam yang menjadikan cara berpikir dan suluk generasi salaf sebagai sumber inspirasi. Bahkan beberapa kelompok salafi menganggapnya sebagai mazhab.
Terma salafi pada perkembangan berikutnya, mengalami metamorfosis dan tidak bisa diartikan tunggal lagi. Kalimat itu menjadi multi makna. Sikap tak terburu-buru dalam analisis menjadi sebuah keniscayaan ketika menemukan kalimat salafi. Karena pada tingkat sesama pemikir saja, umpamanya, konotasinya bisa berbeda satu sama lain. Misalnya, Goerge Tharabisi dan Aziz Azmah, menggunakan kata salafi untuk sesuatu yang pejoratif: untuk menunjuk arus pemikiran atau kelompok yang anti segala hal yang berbau modernitas dan anti pembaharuan. Lawan dari terma salafi model ini adalah progresif (taqadumi). Sementara, Abid Jabiri, Fahmi jad'an, dan sebagian orientalis menggunakan istilah salafi untuk menunjuk pada setiap gerakan atau pemikiran Islam, yang menjadikan al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber utama pemikirannya. Makna yang terakhir ini cakupan lebih luas: memasukan banyak tokoh dan kelompok Islam, baik yang moderat, "literal" -dzahiriyah judud, dan semua kecenderungan pemikiran yang menjadikan al-Qur'an dan Hadis sebagai rujukan utama.
Pada tingkatan klaim antar sesama kelompok pengikut salafi, juga tak kalah ruwetnya. Banyak sekali kelompok yang mengklaim dirinya sebagai salafi hakiki. Di Kuwait, misalnya, data menunjukkan ada lima kelompok yang sama-sama mengaku sebagai salafi, satu sama lain saling kecam dan mendaku sebagai yang paling sah.
Sejatinya, salaf bukanlah sebuah mazhab dan juga bukan personifikasi individu. Seperti pernah disinggung di atas, ia adalah sebuah generasi yang disabdakan Nabi sebagai generasi terbaik, yang mencakup tiga generasi Islam pertama. Kenapa dianggap yang terbaik? Karena mereka adalah generasi yang paling dekat, dengan pengertian seluas-luasnya, dengan masa kenabian. Terutama generasi pertama yang langsung dapat bimbingan dari Rasulullah Saw. Apa makna hadis ini bagi generasi setelahnya? Hadis ini mengajak kita semua untuk menjadikan metode berpikir dan cara bersikap mereka sebagai sumber inspirasi. Bukan malah dijadikan mazhab! Maka tak semua yang mengaku salafi akan otomatis berpikiran kolot. Tergantung kepada artikulasi dan cara memahami pola berpikir dan suluk salaf shalih itu sendiri. Dalam pandangan saya, salafi sejati tidak akan berpikir dan bersikap kaku. Dan kata salaf sendiri secara bahasa sangat netral dan sama sekali tidak mengandung arti pejoratif.
Hanya saja, karena berbagai faktor, pada akhirnya, istilah salafi sangat identik dengan kelompok Wahabi, sebuah aliran yang didirikan Syeikh Muhamad Bin Abdul Wahab (1703-1791) di Najd, Arab Saudi. Sebagian dari mereka, ada perasaan bahwa dirinya lah yang paling salafi. Mereka sendiri, sebetulnya lebih enjoy dipanggil salafi, daripada Wahabi.
Tapi, sayangnya ditangan mereka, makna salafi kemudian dicederai, dikerangkeng pada permasalahan furu'iyah dan perdebatan-perdebatan lama ulama klasik, baik di bidang Fikih, Ilmu Kalam, Tashawuf. Dalam Fikih mereka lebih konsen: membid'ah-bid'ahkan tradisi maulid nabi, ziarah, tawasul dan yang sejenisnya. Dalam Ilmu Kalam, alih-alih menanamkan hakikat makna tauhid, mereka memperdebatkan kembali tentang, misalnya, asma wa sifat dan bahayanya menta'wil ayat ar-Rahmanu 'ala al-'arsyi istawa dengan tawil sebagai kinayah dari keagungan Allah Swt, dll. Mereka akan mengecam siapa pun yang tidak sejalan dengan alur pemikirannya. Tak heran, kalau dicermati karya-karyanya, maka kita akan menemukan daftar-daftar bid'ah mulai yang klasik sampai bid'ah kontemporer. Judulnya pun bisa kita tebak seputar rad wa al'tirad mandul: fulan dalam timbangan Islam, mengcounter pemikiran fulan atau menelanjangi pemikiran fulan. Tentu saja bukan berarti kita tidak boleh untuk mendiskusikan kembali soal-soal di atas. Yang tidak boleh adalah menjadikan permasalahan di atas sebagai prioritas utama.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar singkat untuk membedah dan mendiskusikan kembali metode dan gerakan Salafi-Wahabi saja. Tak akan membahas gerakan salafi secara umum. Sudah kita maklumi semua, akhir-akhir ini, dalam beberapa hal, sebagian oknum yang berafiliasi pada kelompok Salafi-Wahabi dianggap kerap melakukan tindakkan-tindakkan yang berpotensi merusak citra Islam, meresahkan dan banyak menimbulkan perpecahan dikalangan intern umat Islam. Tidak hanya di Timur Tengah, tapi juga di negara-negara dimana ada komunitas Islamnya, termasuk di Barat. "Lawannya" pun di batasi hanya dari kelompok-kelompok moderat saja: Syeikh Qaradhawi cs. Artinya, kritikan-kritkan keras Wahabi yang ada di tulisan ini, ditunjukkan buat tokoh-tokoh di atas yang selama ini dianggap moderat dan diakui otoritas keilmuannya. Poinnya, betapa sama tokoh moderat pun Wahabi masih merasa kegerahan. Sebelum mengenal lebih jauh tentang dasar pemikiran Salafi-Wahabi, ada baiknya kita petakan secara sederhana dulu gerakan awal salafi, dengan menjadikan Mesir, Maroko dan Saudi sebagai sampel.
Peta Gerakan Salafi
Gerakan Salafi, lebih-lebih mulai awal abad 19 M. tidak hanya disuarakan di Arab Saudi saja, tapi juga di berbagai negara Islam, diantaranya Mesir, dan Maroko. Yang menyatukan gerakan salafi ditiga negara itu adalah keseriusannya terhadap pemberantasan bid'ah, purifikasi akidah, perlawanan atas gerakan tasawuf. Mungkin karena suasana dan tuntutan lingkungan yang berbeda, membuat Salafi Maroko dan Mesir dengan Jamaludin al-Afghani dan Muhamad Abduh sebagai pionirnya kemudian mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki Salafi-Saudi atau Salafi-Wahabi. Misalnya, Salafi Maroko dan Mesir bisa lebih terbuka dengan modernitas dan tidak berhenti berkutat pada persoalan purifikasi akidah saja. Mereka mengalami lompatan perjuangan. Dalam kasus salafi Mesir, mereka langsung bergelut dengan problem kebangsaan yang sedang dihadapi. Abduh berani melakukan pembaharuan keagamaan, bahasa Arab dan reformasi fundamental metode pendidikan di universitas al-Azhar. Salafi Mesir juga bergabung bersama pemerintah mengangkat senjata untuk mengusir penjajahan Perancis. Hal yang sama pun berlaku bagi kelompok Salafi Maroko.
Sementara Salafi Arab Saudi dihadapkan pada kenyataan lain. Mereka sibuk bertempur dengan saudara seagama. Secara eksternal dan dengan diback-up Inggris, mereka berperang melawan Dinasti Ustmani. Pada tingkat internal mereka keasyikan melakukan purifikasi akidah dan memberantas tarekat-tarekat sufi yang saat itu berkembang pesat di Arab Saudi. Latar belakang inilah mungkin yang kemudian bisa menjelaskan kenapa kelompok salafi Arab Saudi sangat keras: berpikir sempit dan kolot.
Dasar-Dasar Pemikiran Salafi-Wahabi
Apresiasi kita sama Wahabi yang sangat peduli dengan laku sunah, otentifikasi sanad hadis, purifikasi akidah dengan memberantas bid'ah-bid'ah, tak bisa menghapus kesan kuat, bahwa secara umum, baik dalam bidang pemikiran, keagamaan, sosial dan politik sebagian orang yang berafiliasi kepada Wahabi banyak mengadopsi pendapat-pendapat keras-kaku. Mulai dari mengharamkan sistem demokrasi, sistem partai, konsep nation-state, kepemimpinan wanita –bahkan wanita tidak boleh menyetir mobil sendiri, membid'ahkan maulid Nabi, ziarah kubur, zikir jama'ah, anti sufi sampai fatwa haram menggunakan sendok makan (lihat misalnya fatwa salah satu tokoh Salafi-Wahabi Yaman, Syeikh Muqbil dalam bukunya: as-Shawaiq Fi Tahrim Malaiq atau Halilintar: Tentang Haramnya Memakai Sendok.
Mencermati daftar permasalahan-permasalahan yang disesatkan-dibid'ahkan oleh mereka, maka kita akan berkesimpulan, bahwa kebanyakan daftar itu masuk wilayah mukhtaf fihi: suatu wilayah yang masih dan akan selalu diperdebatkan karena berangkat dari dalil yang tidak qath'i ats-tsubut wa ad-dilalah atau tidak ada ijma ulama. Sebetulnya sikap ulama klasik sudah sangat jelas dan bijak, bahwa dalam wilayah yang masih mukhtalaf fihi, siapa pun tidak boleh memaksakan pendapatnya. Karena akan terjebak pada fanatisme bermazhab dan perpecahan seperti sekarang ini. Semua orang bebas dengan pilihannya.
Pertanyaannya: apa gerangan yang menyebabkan konsentrasi mayoritas dari mereka tersedot pada hal-hal yang masih diperdebatkan? Apa yang membuat mereka seolah lupa bahwa masalah pokok umat Islam sekarang adalah kemiskinan, ketinggalan dalam bidang pendidikan, hi-tech dan bidang primer lainnya?
Realitas di atas terjadi karena dasar pemikiran mereka banyak berlandaskan pada, diantaranya:
1. Ada pembalikan skala prioritas pada cara berpikir dan bertindaknya. Misalnya, mereka lebih memilih meneriakan slogan bid'ah-sesat pada orang yang merayakan acara maulid, ziarah kubur, dll yang hukumnya masih mukhtaf fihi, walapun berpotensi mengancam persatuan umat. Karena jelas sikap keras itu akan menimbulkan ketersinggungan dan menimbulkan aksi balas yang kontra-produktif.
2. Dalam bidang pengetahuan agama, mereka terlalu konsen dengan menghafalkan tumpukan matan-syarah kitab, dan sibuk dengan fikih furu'iyah yang sering tidak di bandingi dengan pengetahuan kontemporer, sehingga yang terjadi adalah keluarnya fatwa-fatwa keras pada soal khilafiyah yang sering bertabrakan dengan kemaslahatan umat.
3. Menutup pintu kebenaran dari pendapat orang lain. Seolah yang benar hanya dirinya saja. Efeknya mereka menekan orang lain untuk ikut pendapatnya. Bahkan sebagian dari mereka tak segan untuk menyesatkan ulama yang berfatwa kebalikan dari pendapatnya. Lihat misalnya kasus yang menimpa pengarang buku best seller, La Tahzan, Dr. 'Aidh al-Qarni yang dikecam habis gara-gara berfatwa wanita boleh tak memakai cadar dan boleh ikut pemilu. Hal yang sama juga pernah menimpa almarhum Syeikh Ghazali dan Syeikh Qaradhawi.
4. Sering me-blowup permasalahan ajaran sufi, ziarah kubur, maulid nabi, tawasul dan sejenisnya, seolah-olah ukuran tertinggi antara yang hak dan bathil. Tapi pada saat yang sama mereka tidak peduli pada kebijakan publik dari pemerintahnya yang kadang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan umat Islam. Mereka taat total pada penguasa yang kadang kebijakannya tidak arif. Sangat jarang, kalau tak dikatakan tak ada, tokoh-tokoh Wahabi melakukan kritik pedas pada pemerintahan Arab saudi soal soal sistem pemerintah, kebijakan penjualan minyak, kebijakan politik luar negeri, lebih-lebih mengkritik "kedekatan" pemerintahanya sama Amerika dan sekutunya.
5. Terlalu mengagungkan tokoh-tokoh kuncinya, semisal Ibnu Taymiah, Bin Baz, dll, sehingga mengurangi nalar kritis. Padahal, pada saat yang sama mereka berteriak anti taklid!
6. Terlalu asyik dengan permasalahan mukhlataf fihi, sehingga sering lalai dengan kepentingan global umat Islam
7. Terlalu tekstualis, sehingga sering menyisihkan pentingnya akal dan kerap alergi dengan hal-hal baru.

Poin-poin di atas, menggiring kita pada kesimpulan bahwa Salafi-Modern mengalami krisis metodologis dan krisis fikih prioritas. Maka tak terlalu mengherankan kalau mereka juga biasa mengecam keras, dan sering gerah dengan sikap dan pendapat tokoh yang saya sebutkan di mukadimah yang dikenal moderat dan mumpuni secara keilmuan. Kesimpulan ini tentu tidak bisa digenerilisir begitu saja kepada semua Salafi-Wahabi. Karena ini sikap yang tidak ilmiah dan tak adil. Tapi, minimal, kalau kita amati buku-buku yang beredar tentang salafi yang ditulis oleh kalangan mereka, juga mengamati milist, maupun website yang dikelolanya, sedikit banyak anda mungkin akan setuju dengan kesimpulan saya. Lebih-lebih kalau yang dijadikan sampel adalah kalangan generasi mudanya.
Ada satu hal yang perlu digarisbawahi, dengan kritikan ini tidak berarti kita memandang remeh pada hal-hal yang mereka bahas. Juga tak berarti mereka tidak boleh memilih pendapat-pendapat yang menjadi keyakinannya. Itu adalah hak mereka. Yang salah adalah ketika pendapat-pendapat itu diekspor melewati teritorialnya kemudian dipaksakan kepada orang lain. Dan siapa saja yang menolak atau tidak ikut pendapatnya maka akan dihukumi bid'ah, bodoh akan hukum Islam dan disesatkan!
Yang paling mengkhawatirkan bagi saya, krisis ini menyebabkan mereka sering kehilangan akal kesadaran akan kepentingan global umat Islam, bahwa kita sedang dikepung arus globalisasi dan era pasar bebas yang tak mungkin dihindari. Arus ini bisa menggerus siapa saja yang tak berdaya. Ya, saya takut kita kehilangan rasa persaudaran, rasa sepenanggungan dan militansi akan kepentingan umat Islam! Padahal sekarang ini umat Islam bukan pemegang pentas dunia, baik sosial, politik maupun ekonomi. Artinya kita butuh ukhuwah untuk menegaskan identitas kita, lebih dari pada masa-masa sebelumnya. Bukan Ukhuwah yang hanya berhenti untuk membangkitkan romantisisme masa kejayaan silam. Ukhuwah yang dimaksud adalah untuk membangkitkan tekad membangun kembali peradaban Islam.
Sebagai penutup, marilah kita sadar fikih prioritas dan saling bahu-membahu pada hal yang kita sepakati, dan memberikan kebebasan memilih pada hal yang masih mukhtalaf fihi. Dan dalam bidang hukum Islam, khususnya, dan pemikiran pada umumnya mestinya sekarang ini jangan hanya mencukupkan diri pada apa yang telah dihasilkan ulama klasik sambil berteriak: ma taraka al-awal lil-akhir! (bahwa semuanya telah dibahas ulama klasik). Tapi harus menggabungkan antara apa yang pernah diwariskan ulama klasik dengan produk kontemporer. Dengan begitu kita tak tercerabut dari akar identitas kita, juga tak kaku-gagap dengan segala hal kebaruan. Konsep ini berdasarkan pada kenyataan bahwa setting formulasi-formulasi pemikiran ulama klasik banyak dihasilkan tepat pada saat umat Islam memegang kendali dunia. Ingat data sejarah mencatat -+ 700 tahun kita memegang peradaban dunia. Misalnya saja konsep bahwa non muslim yang tinggal di negara Islam harus mengenakan pakaian tertentu atau konsep uang yang wajib dizakati adalah uang yang berbentuh dinar dan dirham saja. Padahal dua jenis uang itu, kesaktiannya telah digantikan oleh uang kertas, khususnya dollar, dll.
Realitas saat ini sangat berbeda. Umat Islam sedang terpuruk dalam banyak hal. Data dilapangan menunjukan 50% umat Islam pendapatan perkapitanya dibawah 2 dollar. Dengan pendapatan itu jangan berpikir bisa meningkatan kualitas pendidikan. Membuat anaknya tidak kelaparan saja sudah sangat layak mendapatkan gelar Bapak Teladan!
Akibat dari keterpurukan ini maka cermatilah hasil-hasil keputusan hukum fikih yang ditelorkan baik, oleh Majma' Buhust Mesir, Bahtsul Masail PBNU, Majelis tarjih PP. Muhamadiyah, dll seringkali yang temukan adalah fikih solusi, bukan hukum normal yang berdiri dengan gagah. Kaidah adh-dharurat tubihu al-mahdhurat, al-amru idza dzaka it-tasa', konsep sadz- adz-dzari, dan kaidah-kaidah lain yang mengisyaratkan kita dalam posisi "kalah hidup" pun menjadi kaidah yang paling laris. Kenapa? Karena realitas kebijakan hitam-putih dunia sekarang ini tidak ditangan kita. Mereka yang punya otoritas kebijakan dunia. Bukan kita! Sekarang pertanyaannya: Sudah siapkah kita untuk lebih mendahulukan persatuan dan kepentingan umat? Selamat Menunaikan Ibadah Puasa! Astagfirullah Li Walakum. Takaballah Mina wa Minkum Ajma'in. Wallahu 'alam bi as-shawab.

konsep dakwah yang di buramkan-sebuah kritik dakwah Islam

Islam adalah agama yang mempunyai banyak keistimewaan di antara agama-agama samawi yang lain, di antaranya dalam bidang dakwah. Dakwah adalah salah satu elemen yang paling penting dalam Islam. Maka dari itu Islam mengaturnya dengan sedemikian rupa baik dalam Al Qur'an maupun As Sunnah.
Dalam perkembangannya dakwah ikut menyesuaikan dengan masa dan peradaban. Seiring perkembangan teknologi, dakwah Islam pun ikut mengiringi perkembangan tersebut. Berbagai media dimanfaatkan untuk membantu dakwah ini. Dan alhasil Islam kini telah menjadi salah satu agama terbesar di muka bumi ini.
Selama lebih dari 14 abad para da'i dan da'iyah menapak tilas metode dakwah Sang Penutup para Nabi, Muhammad SAW. Dan hasilnya pun cukup gemilang. Islam tersebar ke seluruh pelosok negeri di muka bumi ini. Kalau bukan karena sistem dakwah ini adalah sebuah manhaj Illahi yang diwahyukan kepada Rasullullah SAW. tentulah tidak akan mencapai hasil yang begitu mengagumkan seperti sekarang ini.
Namun begitu dakwah Islam di abad millenium ini semakin mendapat tantangan keras dari para penentang kebenaran dan pemuja kebebasan. Dan dakwah suci ini telah banyak ternodai oleh kotoran-kotoran yang ditebarkan oleh musyakkikun dan kaum pluralis. bersambung.......

Selasa, 27 Mei 2008

Konfesi Tafsir Kaum Pluralis


PDF

Cetak

E-mail

Ditulis oleh Fahmi Salim

Wacana untuk menyusupkan kredo pluralisme agama ke dalam alam pandangan hidup (world view) umat Islam tidak pernah ditemukan dalam karya-karya ilmiah ulama Islam terkemuka Indonesia. Namun dalam dua dasawarsa terakhir, wacana yang dimulai oleh gagasan-gagasan pluralis alm. Cak Nur pada awal 90-an telah mengkristal setelah kelompok yang menamakan Jaringan Islam Liberal (muncul pada era reformasi), resmi menjadikan isu pluralisme agama sebagai sebagai salah satu agenda pentingnya. Tafsir-tafsir Al-Qur'an yang ditulis para ulama terkemuka dieksploitasi oleh kelompok ini dalam berbagai artikel dan tulisan lepas di media massa. Kejujuran dan keakuratan ilmiah yang seharusnya dimiliki seorang ilmuan-peneliti tampaknya sulit ditemukan dalam puluhan artikel yang telah ditulis oleh para penghela gerbong liberal. Terbaru, seorang penulis liberal berusaha kuat meneliti perspektif Al-Qur'an tentang pluralisme agama dalam sebuah karya tulis wajib di tingkat doktoral di sebuah perguruan tinggi Islam terkemuka di tanah air. Pra-konsepsi yang menyetir diri seorang ilmuan dalam risetnya, pengabaian kaidah-kaidah tafsir dan ditambah ketidakjujuran dalam mengungkap fakta penafsiran ulama menyebabkan usaha itu menjadi absurd dan sia-sia. Berikut ini beberapa contoh konfesi tafsir kaum pluralis:

Problem Metodologis
Metode yang dipakai penulis salah satunya, katanya, adalah 'Tafsir Mawdlu'i' (h.26). Tafsir model ini mendekati Al-Qur'an secara tuntas dengan mengambil salah satu kata kunci konseptual atau gagasan-gagasan dasar Al-Qur'an yang merespon sejumlah tema yang menjadi perhatian umat manusia. Namun dalam prakteknya ia tak mengikuti tahapan-tahapan dan langkah yang harus ditempuh mufasir mawdlui seperti penjelasan dari sunnah Rasulullah saw dan menghindari dan berusaha adil dalam mengkompromikan ayat-ayat Al-Qur'an yang terkesan kontradiksi (muhim al-ikhtilaf wa al-tanaqudh) . Mengawali buku itu di halaman-halaman pertama (h.7-8), ia mendemonstrasikan pertentangan ayat-ayat "fondasional, akidah" dengan ayat muamalah seperti larangan nikah beda agama bagi perempuan muslimah. Bagi dia, larangan itu adalah 'opini sebagian ulama fikih'. Padahal, ijma ulama dari seluruh mazhab berdasar Q.S. al-Baqarah: 221 jelas mengharamkan model pernikahan ini. Ijma' ulama ini tak hanya bersifat teoretis tapi juga diamalkan dan berlangsung lebih dari 14 abad. (al-Qaradhawi: 99) Inkonsistensi metodologi juga tampak dalam 'mal-praktek' penafsiran, ketika mazhab kontekstualisasi ditekankan untuk sejumlah teks yang diduga anti kemajemukan beragama (h.12), dan disisi lain mazhab 'literalisme' diterapkan untuk ayat-ayat yang mendukung pluralisme (h.18-19).

Makna al-Islam
Kiranya pengertian al-Islam dalam Ali 'Imran: 19 sering dijadikan sasaran takwil penulis liberal. Sebagaimana dalam tafsir al-Zamakhsyari (I/417) bahwa al-Islam adalah 'al-'Adlu wa al-Tawhid' (Keadilan dan Tauhid). Jika kita jeli, sejatinya tafsiran ini adalah bias teologi muktazilah yang banyak menghiasi tafsir al-Kassyaf. Tafsir ideologis semacam ini sektarian dan menafikan Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Juga al-Qurthubi (IV/43): al-Islam 'bi Ma'na al-Iman wa al-Tha'at' (Keimanan dan Ketaatan), Sehingga berbekal kutipan di atas, dalam footnote 108 hlm. 201 penulis dengan tegas menyatakan bahwa: "al-Islam tak diartikan sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad saw". Padahal pakar tafsir, Muhammad al-Thahir ibn 'Asyur (1879-1973 M) telah dengan tegas menetapkan jenis 'al' definitif pada kata al-Islam itu adalah 'Alam bil Ghalabat 'ala al-Din al-Muhammadi (nama sesuatu yang sudah terang menjadi identitas agama yang dibawa oleh Muhammad saw), al-Tahrir wa al-Tanwir: III/188.

Mis-persepsi Kutipan dari Tafsir al-Manar
1). Syarat Keimanan yang Benar Bagi kaum pluralis-liberal fakta spektrum pluralisme quranik telah diungkapkan melalui janji penyelamatan terhadap orang-orang yang beragama selain Islam. Secara eksplisit, Al-Qur'an menegaskan bahwa Yahudi, Kristen dan Sabean dll akan selamat jika 3 unsur terpenuhi dalam al-Baqarah: 62 dan al-Maidah: 69. Dengan modal penggalan tafsir al-Manar yang tidak utuh, penulis menjelaskan: "Jika diperhatikan seksama jelas dalam ayat itu tak ada ungkapan agar mereka beriman kepada Nabi Muhammad saw. Dengan mengikuti bunyi harafiahnya, sekalipun mereka tak beriman kepada Nabi Muhammad saw maka akan memperoleh balasan dari Allah SWT" (h.195).
Bagaimana sebenarnya pandangan Rasyid Ridha (1865-1935 M) tentang Ayat 62 surah al-Baqarah ini? Ayat itu, terang Rasyid Ridha, "Menjelaskan sunnatullah dalam memperlakukan umat-umat beragama yang ada sebelum dan sesudah Islam datang. Substansinya sama dengan pesan ayat 124 surah al-Nisa'. Maka jelaslah, dengan demikian, 'tak ada ganjalan sekiranya ayat ini tak mempersyaratkan keimanan kepada Nabi Muhammad saw'* dikarenakan konteks ayat ini berbicara tentang perlakuan Allah SWT kepada seluruh kelompok umat beragama yang percaya kepada masing-masing nabi dan wahyu yang khusus diperuntukkan untuk mereka; mereka mengira bahwa keselamatan di akhirat kelak adalah pasti milik mereka semata hanya karena status atribut sebagai muslim, yahudi, kristen, atau sabean dll. Sebab itu, Allah SWT melalui ayat ini ingin mengatakan bahwa keselamatan itu tidak ditentukan oleh jenis-jenis agama yang diklaim tiap kelompok.** Melainkan ditentukan oleh keimanan yang benar berangkat dari ketulusan jiwa, dan amal yang dapat memperbaiki kondisi umat manusia. Dengan penjelasan ini, Al-Qur'an menafikan bahwa keputusan keselamatan dari Allah SWT itu ditentukan oleh angan-angan kaum muslimin atau Ahli Kitab, dan sebaliknya ia ditentukan oleh kualitas amal shalih yang berangkat dari iman yang benar" demikian terjemah lengkap kutipan itu (al-Manar vol.1/275, paragraf 2, baris ke 5-15). Syarat keimanan kepada Nabi Muhammad saw itu diterangkan di dalam sunnah Rasulullah saw yang berfungsi sebagai 'Bayan', penjelas Al-Qur'an. Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Abu Hurayrah ra. Bahwa Nabi bersabda: "Demi Allah yang nyawa Muhammad ada di genggamannya, tak seorangpun dari umat ini baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar kabarku kemudian ia mati dan belum beriman terhadap apa yang telah diperutuskan kepadaku, kecuali ia termasuk penghuni neraka". (I/134 no. 240). Jadi manipulatif sekali jika ia dengan bebas mengesankan penulis al-Manar berpendapat "tak ada persyaratan bagi orang yahudi, nasrani dan shabiah untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw." Imbas dari keliru paham atas kutipan al-Manar itu pula ia berkesimpulan sembrono: "maka terang bahwa surga tak dimonopoli komunitas satu agama. Ia adalah milik publik yang bisa dihuni oleh umat beragama mana saja yang beriman dan beramal shaleh" (h.202).


2). Kekufuran Nasrani.
Kekufuran pengikut Nasrani seperti dinyatakan Al-Qur'an bukan bertendesi politis, jelas bahwa itu adalah sikap teologis dalam Al-Qur'an. Menyikapi kekufuran akidah kaum Nasrani yang telah ditetapkan dalam Q.S. al-Maidah: 17 dan an-Nisa: 171, penulis tak rela menerima ketetapan teologis Al-Qur'an itu. Dengan susah payah ia berusaha memaparkan perbedaan hakikat Trinitas di lingkungan Kristen, bahkan ia mentakwil konsep 'Anak Tuhan' dengan merujuk kutipan PL dan PB (h.162), satu hal yang lazimnya dilakukan para agamawan Kristen. Bahkan ia mengutip Rasyid Ridha yang menceritakan pandangan orang-orang Kristen Eropa bahwa Yesus tak lebih dari seorang nabi/rasul dan bukan Tuhan. Menurutnya, boleh jadi pandangan ini lah yang mendominasi umat kristiani sekarang...? ! Dia juga keliru memahami kritikan Rasyid Rida dalam al-Manar (VI/255) kepada al-Zamakhsyari dalam al-Kassyaf (II/16) dan al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb (VI/195) yang dianggap melakukan generalisasi terhadap kelompok-kelompok kristen. Justeru Ridha mengkritik kedua mufasir itu karena beranggapan bahwa kekufuran itu hanya terkait sebagian sekte Kristen saja. Para mufasir itu belum melihat realitas kontemporer dan tak membaca buku-buku teologi Kristen apalagi terlibat dalam perdebatan dengan mereka. Ridha menyayangkan bahwa meski terjadi gerakan reformasi Kristen yang dilancarkan kubu Protestan (paragraf terbawah al-Manar, h.255) dengan perombakan tradisi kristen di sana-sini, namun lanjutnya, para reformis itu tak sanggup lagi mengembalikan Kristen kepada doktrin Tauhid yang asli. Mereka, sepandangan dengan Katolik dan Ortodoks, tetap meyakini konsep Trinitas dan ketuhanan Yesus. Maka seluruh sekte Kristen saat ini berketetapan bahwa Allah itu adalah al-Masih putera Maryam dan atau sebaliknya. (al-Manar, VI/256) artinya Ridha ingin mengatakan bahwa fakta teologis yang diungkap al-Maidah: 17 itu sudah benar dan didukung realitas Kristen yang ada sekarang.
Secara vulgar, kelompok liberal telah menunjukkan inkonsistensinya. Ketika berhadapan dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang mengkritisi keyakinan dan perilaku Ahlul Kitab, mereka mentakwil sekuat tenaga bahwa ayat itu bersifat kontekstual- historis, kondisional dan mencerminkan sikap politis Al-Qur'an. Namun jika dihadapkan pada ayat-ayat yang mengapresiasi Ahlul Kitab, mereka bersikap literal dan a-historis sambil menyatakan itulah sikap teologis Al-Qur'an yang tak dapat dinasakh. Untuk ayat-ayat yang intoleran dan kritis pada Ahlul Kitab mereka takwil sedemikian rupa dan untuk ayat-ayat toleran tak satu pun mencantumkan penafsiran para pakar tafsir. Kalaupun tafsir ulama dicantumkan, namun tidak utuh dan dimanipulasi sekenanya.

Dari Akidah Pluralis ke Fiqih Pluralis
Dalam salah satu bahasannya, penulis liberal itu membolehkan umat Islam bersedekah dan zakat kepada non-muslim dengan dasar firman al-Baqarah: 272 setelah meninjau sabab nuzulnya. Padahal Imam al-Qurthubi (m.671 H), yang ia kutip, memberikan catatan hanya sedekah sunnah saja yang boleh diberikan kepada mereka. Adapun sedekah wajib/zakat tidak sah untuk mereka atas dasar hadits "Akhudzuha min Aghniyaikum fa Aruddaha ila Fuqaraikum" (vol 3/337). Ibnu al-Mundzir bahkan melaporkan adanya konsensus ulama bahwa kafir dzimmi tak berhak menerima zakat mal kaum muslimin (ibid). Penulis juga mendukung pendapat al-Mahdawi yang membolehkan zakat kepada orang musyrik miskin (hlm.224) tapi ia tak menyebut komentar Ibnu 'Athiyah dalam tafsir Al-Qurthubi bahwa opini tersebut tertolak oleh ijma' ulama. Demikian pula pendapat Abu Hanifah bahwa boleh menyalurkan zakat fitrah kepada non-muslim (hlm.225), lagi-lagi ia tak utuh menyebut kritikan pakar hukum Al-Qur'an, Ibnul 'Arabi yang mengatakan pendapat ini lemah dan tak ada dasarnya (ibid). Tentunya pendapat yang ditolak ijma ini, akan lebih janggal jika diterapkan di tengah kondisi kemiskinan akut yang melilit umat Islam Indonesia. Penafsiran pribadi penulis untuk mengembangkan fiqih pluralis juga terlihat dalam bahasan tentang ucapan selamat natal (h.207-209), kebolehan non muslim masuk mesjid (h.206), dan pengertian dan cakupan Ahlul Kitab yang cocok dan kontekstual dengan kondisi Indonesia yang majemuk (h.216-217). Menjawab konfesi ini tak cukup diungkapkan dalam artikel yang terbatas ini.

Visi Qur'anik tentang Pluralitas dan Toleransi
Namun setelah itu semua, disini perlu ditegaskan bahwa mengakui eksistensi praktis agama-agama lain yang beragam dan saling berseberangan ini dalam pandangan Islam tidak secara otomatis mengakui legalitas dan kebenarannya seperti yang diajarkan oleh kaum pluralis. Sikap yang tepat adalah, menerima kehendak Allah SWT dalam menciptakan agama-agama ini sebagai berbeda-beda dan beragam. Karena Allah swt Yang Maha Bijak telah menghendaki untuk menciptakan jagad raya dan segala isinya ini dengan bentuk dan kondisi yang demikian sistematis dan seimbang; ada baik dan buruk, haq dan bathil, cahaya dan gelap, bahagia dan sengsara. Tapi kehendak Ilahiah ini ada dua macam, merujuk kepada istilah yang dipopulerkan Syekh Muhammad 'Abduh (1849-1903 M), yaitu: 1) kehendak ontologis (iradah kawniyyah) dan 2) kehendak legalistis (iradah syar'iyyah). Di satu sisi, Allah SWT menciptakan sesuatu dan memang menghendakinya secara ontologis dan legalistis, seperti: kebaikan, kebenaran, iman, malaikat, dan segala sesuatu yang Dia cintai dan ridhai. Tapi di sisi lain, Allah SWT menciptakan sesuatu dan menghendakinya secara ontologis tapi tidak secara legalistis, seperti: kejahatan, kebatilan, setan, kekufuran dan segala sesuatu yang Dia benci. Dr. Syekh Yusuf al-Qaradhawi (Ghairu al-Muslimin fi al-Mujatama' al-Islami: 53-55) menyebutkan empat faktor yang melahirkan sikap toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim: i) keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaan dan kesukuannya. Kemuliaan ini mengimplikasikan hak untuk dihormati. ii) kayakinan bahwa perbedaan manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas (ontologis) yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman atau kufur. Oleh karenanya tidak dibenarkan memaksa mereka untuk Islam. iii) seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran orang kafir atau menghukum kesesatan orang sesat. Allah SWT lah yang akan mengadili mereka di hari perhitungan kelak. (al-Hajj: 69, al-Syura: 15) Dengan demikian hati seorang muslim menjadi tenang, tidak perlu terjadi konflik batin antara kewajiban berbuat baik dan adil kepada mereka (al-Mumtahanah: 8), dan dalam waktu yang sama harus berpegang teguh pada kebenaran keyakinannya sendiri. iv) keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berbuat Adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik (at-Tawbah: 6). Begitu juga Allah SWT mencela perbuatan zalim meskipun terhadap orang kafir (al-Maidah: 8).
Wallahu A'lam bil Shawab.